Wednesday 6 April 2011

Legenda Simardan - Durhaka Kepada Orang Tua, Berubah Wujud Menjadi Pulau

Berbagai kisah dan cerita tentang legenda anak durhaka. Di antaranya, Malin Kundang di Sumatera Barat yang disumpah menjadi batu, Sampuraga di Mandailing Natal Sumatera Utara yang konon katanya, berubah menjadi sebuah sumur berisi air panas.
Di Kota Tanjungbalai, akibat durhaka terhadap ibunya, seorang pemuda dikutuk menjadi sebuah daratan yang dikelilingi perairan, yakni Pulau Simardan.
Berbagai cerita masyarakat Kota Tanjungbalai, Simardan adalah anak wanita miskin dan yatim. Pada suatu hari, dia pergi merantau ke negeri seberang, guna mencari peruntungan.
Setelah beberapa tahun merantau dan tidak diketahui kabarnya, suatu hari ibunya yang tua renta, mendengar kabar dari masyarakat tentang berlabuhnya sebuah kapal layar dari Malaysia. Menurut keterangan masyarakat kepadanya, pemilik kapal itu bernama Simardan yang tidak lain adalah anaknya yang bertahun-tahun tidak bertemu.
Bahagia anaknya telah kembali, ibu Simardan lalu pergi ke pelabuhan. Di pelabuhan, wanita tua itu menemukan Simardan berjalan bersama wanita cantik dan kaya raya. Dia lalu memeluk erat tubuh anaknya Simardan, dan mengatakan, Simardan adalah anaknya. Tidak diduga, pelukan kasih dan sayang seorang ibu, ditepis Simardan. Bahkan, tanpa belas kasihan Simardan menolak tubuh ibunya hingga terjatuh.
Walaupun istrinya meminta Simardan untuk mengakui wanita tua itu sebagai ibunya, namun pendiriannya tetap tidak berubah. Selain itu, Simardan juga mengusir ibunya dan mengatakannya sebagai pengemis.
Berasal Dari Tapanuli
Sebelum terjadinya peristiwa tersebut, Pulau Simardan masih sebuah perairan tempat kapal berlabuh. Lokasi berlabuhnya kapal tersebut, di Jalan Sentosa Kelurahan Pulau Simardan Lingkungan IV Kota Tanjungbalai, kata tokoh masyarakat di P. Simardan, H.Daem, 80, warga Jalan Mesjid P. Simardan Kota Tanjungbalai.
Tanjungbalai, terletak di 20,58 LU (Lintang Utara) dan 0,3 meter dari permukaan laut. Sedangkan luasnya sekitar 6.052,90 ha dengan jumlah penduduk kurang lebih 144.979 jiwa (sensus 2003-red).
Walaupun peristiwa tersebut terjadi di daerah Tanjungbalai, Daem mengatakan, Simardan sebenarnya berasal dari hulu Tanjungbalai atau sekitar daerah Tapanuli.
Hal itu juga dikatakan tokoh masyarakat lainnya, Abdul Hamid Marpaung, 75, warga Jalan Binjai Semula Jadi Kota Tanjungbalai. “Daerah asal Simardan bukan Tanjungbalai, melainkan di hulu Tanjungbalai, yaitu daerah Porsea Tapanuli,” jelasnya.
Menjual Harta Karun
Dari berbagai cerita atau kisah tentang legenda anak durhaka, biasanya anak pergi merantau untuk mencari pekerjaan, dengan tujuan merubah nasib keluarga.
Berbeda dengan Simardan, dia merantau ke Malaysia untuk menjual harta karun yang ditemukannya di sekitar rumahnya, kata Marpaung.
“Simardan bermimpi lokasi harta karun. Esoknya, dia pergi ke tempat yang tergambar dalam mimpinya, dan memukan berbagai macam perhiasan yang banyak,” tutur Marpaung. Kemudian, Simardan berencana menjual harta karun yang ditemukannya itu, dan Tanjungbalai merupakan daerah yang ditujunya. Karena, jelas Marpaung, berdiri kerajaan besar dan kaya di Tanjungbalai. Tapi setibanya di Tanjungbalai, tidak satupun kerajaan yang mampu membayar harta karun temuan Simardan, sehingga dia terpaksa pergi ke Malaysia. “Salah satu kerajaan di Pulau Penang Malaysialah yang membeli harta karun tersebut. Bahkan, Simardan juga mempersunting putri kerajaan itu,” ungkapnya.
Berbeda dengan keterangan Marpaung, menurut H.Daem, tujuan Simardan pergi merantau ke Malaysia untuk mencari pekerjaan. Setelah beberapa tahun di Malaysia, Simardan akhirnya berhasil menjadi orang kaya dan mempersunting putri bangsawan sebagai isterinya.
Malu
Setelah berpuluh tahun merantau, Simardan akhirnya kembali ke Tanjungbalai bersama isterinya. Kedatangannya ke Tanjungbalai, menurut Daem, untuk berdagang sekaligus mencari bahan-bahan kebutuhan. Kalau menurut Marpaung, Simardan datang ke Tanjungbalai dilandasi karena tidak memiliki keturunan. Jadi atas saran orang tua di Malaysia, pasangan suami isteri itu pergi ke Tanjungbalai. Lebih lanjut dikatakan Marpaung, berita kedatangan Simardan di Tanjungbalai disampaikan masyarakat kepada ibunya. Gembira anak semata wayangnya kembali ke tanah air, sang ibu lalu mempersiapkan berbagai hidangan, berupa makanan khas keyakinan mereka yang belum mengenal agama. “Hidangan yang disiapkan ibunya adalah makanan yang diharamkan dalam agama Islam,” tutur Marpaung.
Dengan sukacita, ibu Simardan kemudian berangkat menuju Tanjungbalai bersama beberapa kerabat dekatnya. Sesampainya di Tanjungbalai, ternyata sikap dan perlakuan Simardan tidak seperti yang dibayangkannya.
Simardan membantah bahwa orang tua tersebut adalah wanita yang telah melahirkannya. Hal itu dilakukan Simardan, jelas Marpaung, karena dia malu kepada isterinya ketika diketahui ibunya belum mengenal agama. “Makanan yang dibawa ibunya adalah bukti bahwa keyakinan mereka berbeda.”
Sementara menurut H. Daem, perlakuan kasar Simardan karena malu melihat ibunya yang miskin. “Karena miskin, ibunya memakai pakaian compang-comping. Akibatnya, Simardan tidak mengakui sebagai orangtuanya.”
Kera Putih dan Tali Kapal
Setelah diperlakukan kasar oleh Simardan, wanita tua itu lalu berdoa sembari memegang payudaranya. “Kalau dia adalah anakku, tunjukkanlah kebesaran-Mu,” begitulah kira-kira yang diucapkan ibu Simardan. Usai berdoa, turun angin kencang disertai ombak yang mengarah ke kapal layar, sehingga kapal tersebut hancur berantakan. Sedangkan tubuh Simardan, menurut cerita Marpaung dan Daem, tenggelam dan berubah menjadi sebuah pulau bernama Simardan.
Para pelayan dan isterinya berubah menjadi kera putih, kata Daem dan Marpaung. Hal ini disebabkan para pelayan dan isterinya tidak ada kaitan dengan sikap durhaka Simardan kepada ibunya. Mereka diberikan tempat hidup di hutan Pulau Simardan. “Sekitar empat puluh tahun lalu, masih ditemukan kera putih yang diduga jelmaan para pelayan dan isteri Simardan,” jelas Marpaung. Namun, akibat bertambahnya populasi manusia di Tanjungbalai khususnya di Pulau Simardan, kera putih itu tidak pernah terlihat lagi.
Di samping itu, sekitar tahun lima puluhan masyarakat menemukan tali kapal berukuran besar di daerah Jalan Utama Pulau Simardan. Penemuan terjadi, ketika masyarakat menggali perigi (sumur). Selain tali kapal ditemukan juga rantai dan jangkar, yang diduga berasal dari kapal Simardan, kata Marpaung.
“Benar tidaknya legenda Simardan, tergantung persepsi kita. Tapi dengan ditemukannya tali, rantai dan jangkar kapal membuktikan bahwa dulu Pulau Simardan adalah perairan.”
Sumber : Rahmad F Siregar (sn) , Waspada Online

Angka di Atas Kuburan

“Aku yakin … Ucok pasti bisa menamatkan diri dari SMU. Ia cukup pintar, meskipun sekolah tingkat atas di pedesaan Sidikalang. Lagi pila ia sangat rajin belajar dan membantu ibunya di ladang”. Inilah kata-kata yang keluar dari mulut Halomoan melihat anaknya si Ucok pergi ke sekolah.Tengah hari itu, seusai pulang sekolah dan makan siang, Ucok langsung menyusul ayah dan ibunya bekerja di ladang. Mereka menyiangi padi yang sudah di tanam sebulan yang lalu bersama-sama dengan tetangga. Rencananya hasil padi itu akan digunakan sebagai biaya sekolah masuk perguruan tinggi, selain biaya untuk hidup. Dengan padi, ditambah dengan sedikit hasil kopi yang harganya sangat murah, menjadi bekal penerus hidup keluarga Halomoan. “Ucok, pulang kita dulu, sudah sore, bah…. Lagipula aku masih harus mengambil tuak kita di tepi tepi jurang pinggir ladang kita” pinta Halomoan. Ladangnya memang di daerah berlembah-lembah dan bergunung-gunung. Itulah memang keadaan dataran tinggi Sidikalang, daerah tertinggal di Sumatera Utara. Di daerah bergunung-gunung demikian, terdapat deretan pohon enau yang menjadi sumber tuak bagi penduduk.
Tuak menjadi minuman penghangat badan sebelum istirahat malam. Tuak termasuk minuman pesta dan minuman khas penduduk Sidikalang, sama seperti di tempat lain. Ayah Ucok, Halomoan senang minum tuak, meskipun sedikit, selebihnya dijual di emperan, dan menjadi tempat penduduk berkumpul sambil minum tuak. Kadang-kadang kalau pohon enau lagi tidak “bertangan”, Halomoan mengolah tuak dari “tangan” pohon kelapa. Tuak dari kelapa, merupakan hal biasa. Rasanya juga, kadang-kadang lebih enak dibandingkan dengan tuak dari pohon enau. Hal itu sudah dibuktikan para tetangga. “Rasanya, lebih enaklah, tuak kelapa” kata Sinaga pelanggan setia tuak Halomoan.
Hampir setiap sore hari, para bapak-bapak berdatangan ke “warung mini” Halomoan. Tuak kadang-kadang membawa rejeki bila lagi banyak airnya. Lumayan, bila tuak sampai 5 liter per hari. Tuak menjadi penghasilan tambahan, meskipun hanya untuk membeli gula pasir dan minyak goreng masing-masing satu kilo. Ya… mengurangi pengeluaran.
Pagi-pagi benar Halomoan cepat bangun. Ia membuatkan kopi untuk dirinya. Membuatkan kopi bukanlah haruas dilayani istri. Itulah kebiasaan keluarganya. Lalu langsung berangkat ke ladang memulai pekerjaannya. Sedangkan istrinya, Ria Uli memasak sarapan pagi untuk suami dan anak-anak yang sudah siap pergi ke sekolah. Maklum anak-anak harus cepat bangun karena jarak rumah dengan sekolah cukup jauh. Lagi pula harus ditempuh dengan jalan kaki. Kalau betis-betis anak-anak sekolah besar-besar ukurannya, maka itu disebabkan latihan jalan setiap pagi dan pulang dari sekolah.
Setelah anak-anak sarapan dan pergi ke sekolah, barulah Ria Uli menyusul suaminya ke ladang sambil membawa sarapan. Saat itu jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Ia tidak langsung mengajak suaminya sarapan. Ia ikut membantu suaminya menyiangi tanaman padi mereka. “Ibu Ucok, sarapanlah dulu kita, sudah pukkul sepuluh !” ajak Halomoan kepada istrinya. Perut memang sudah lapar dan harus diisi. Begitulah kebiasaan penduduk setempat yang mayoritas bermata pencaharian dari hasil ladang atau pertanian. Itulah gambaran kebanyakan petani-petani ladang di Sidikalang, kota kabupaten yang bergunung-gunung atau berbukit-bukit.
Sore itu Sinaga bersama tetangga lain kembali datang memesan tuak. Sitanggang , salah satu teman Sinaga, ikut juga hadir di warung mini Halomoan. Sitanggang yang masih serumpun dengan marga Halomoan yakni Simbolon, merupakan pecandu tuak. Selain pecandu tuak, Sitanggang mempunyai misi judi togel, judi dengan tebak angka, dulu dikenal SDSB atau Porkas. Ia menawarkan dan menjual lembaran togel kepada semua orang yang ikut minum tuak. Judi togel memang sudah terkenal dimana-mana. Tak terkecuali di pedesaan Sumatera Utara. Togel menjadi pembahasan penduduk, mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu hingga ke pemuda-pemuda pengangguran. Kalau dulu para parmitu (Peminum tuak) berbicara lapo (lapangan politik), main catur dan lomba tarik suara, sekarang togel menjadi pembahasan utama. Barangkali togellah yang membuat berkurangnya pengaruh keramaian demo politik atau demo buruh di daerah ini. Kalau di daerah lain, banyak penduduk ikut demo apalagi ada yang menjarah toko-toko orang-orang Cina yang dikenal sangat tertutup dengan kelompoknya.
“Tadi malam aku bermimpi bah ! Mimpiku tentang orang gila”. Kata Sinaga setelah membaca buku tafsir mimpi, yang disediakan Sitanggang. “Orang gila ? Mari kita bahas, buku ini memang menyediakan seribu satu tafsir mimpi” jelas Sitanggang. Lalu ia menunjukkan dalam buku tafsir yang mereka sebut juga buku esek-esek nipi (buku tebak mimpi), sebuah gambar orang gila dan di atasnya terdapat angka delapan tujuh. Lalu Sinaga membeli lima lembar kertas togel dengan maksud menuliskannya dalam lima tebakan. Menurut Sitanggang, tafsir mimpi tidak boleh ditafsirkan bulat-bulat dengan satu kali tebakan. Angka dari mimpi harus dibahas lagi dalam aneka tebakan. Kiat tersebut ternyata berhasil. Sinaga mendapat Rp 75.000,- untuk satu lembar dengan tebakan dua angka.
Menyaksikan Pak Sinaga yang mendapat rejeki tersebut, Halomoan akhirnya tertarik dengan judi togel. Harganya murah kok per lembar. Setiap lembar untuk tebakan versi dua angka hanya Rp 500,- saja, untuk versi tiga angka Rp 1.000,- dan untuk versi empat angka Rp 5.000,- dan untuk versi enam angka Rp 10.000,-. Itulah yang muncul dalam benaknya. Lebih menarik lagi, hadiah-hadiahnya cukup besar, untuk dua angka sebesar 75.000 rupiah, untuk tiga angka sebesar 300.000 rupiah, untuk empat angka sebesar 10.000.000, untuk lima angka sebesar 50.000.000,- dan untuk enam angka sebesar 100.000.000,-. Saya bisa kaya dan membiayai sekolah anakku, pikirnya.
Tak lama kemudian, Halomoan mewujudkan angan-angannya. Diam-diam, ia mempunyai mimpi yang selama ini selalu menemaninya dalam pembaringan. Selama ini Halomoan sudah berkali-kali menceritakan mimpi anehnya. Dalam mimpi ia selalu melihat kuburan di ladangnya. Mimpi tersebut membuat ia penasaran. Apa arti mimpi saya. Syukurlah togel ini ada, dan bisa menjadi tempat penyalurannya. Demikian pemikiran akhirnya. Buku tafsir mimpi togel pun ia pinjam. Dalam buku tersebut, tampak ada kuburan. Empat angka yang berbeda terdapat di samping gambar tersebut. “Empat angka ? … semakin besarlah hadiahku nanti” tanyanya dalam hati bercampur hati gembira. Tanpa ragu-ragu ia membeli lima puluh lembar kertas togel, versi empat angka dengan harga seribu rupiah per lembar. Diam-diam Halomoan berkeyakinan, bahwa dengan semakin banyak tebakan, semakin banyak kemungkinan untuk menang. Ia belajar dari teman-temannya yang membeli sedikit lembaran togel dan jarang sekali menang. Ia berani menghabiskan hasil penjualan tuaknya. Ia mengacak keempat angka tersebut menjadi lima puluh tebakan versi empat angka. Ucok yang sibuk melayani pelanggan warung mini ayahnya, hanya menjadi penonton dan tidak mungkin mencampuri urusan orang-orang tua. Ucok hanya diam ketika melihat rencana ayahnya, dan ia sebagai anak mendoakan “usaha” ayahnya berhasil. Namun Ria Uli tidak tahu-menahu tentang langkah suaminya, sebab ia sibuk memasak di dapur untuk makan malam mereka. Halomoan sudah menyerahkan semua lembaran togel ke Sitanggang, tinggal menunggu pengumuman pada minggu berikutnya.
Dalam penantian penuh harapan, Halomoan tetap melakukan pekerjaannya. Kali ini begitu luar biasa semangatnya bekerja di ladang yang berada di antara dua perbukitan indah. Dalam benaknya, ia punya segudang angan-angan. Salah satu angan-angannya jika menjadi pemenang togel nanti adalah akan menggunakan uang tersebut untuk membeli seratus lembar togel lagi dalam versi enam angka.
Satu minggu berlalu tanpa terasa. Halomoan langsung mendatangi rumah Sitanggang, agen togel desanya. Ternyata satu dari lima puluh tebakan Halomoan benar dan ia menjadi satu-satunya pemenang di desa itu. Betapa mendalam kegembiraannya. Kegembiraan tersebut ia bagikan juga dengan Sitanggang. Ia memberikan lima ratus ribu kontan kepada agen togel tersebut. Lalu ia pulang sambil membawa uangnya. “Enak sekali hidup ini, dalam seminggu aku bisa mendapatkan uang sebesar 10.000.000 rupiah” ucapnya dalam hati. Dekat rumah, istri dan anaknya, Ucok melihat Halomoan berjalan cepat-cepat dan dengan gembira. Ucok tidak curiga, ia tahu ayahnya pasti dapat uang karena togelnya. “Ayah, minggu lalu membeli togel, ia pasti menang”, kata Ucok pada ibunya. Halomoan langsung menunjukkan plastik kresek tempat uang tersebut pada istrinya. “Kita akan menjadi kaya, dan akan semakin kaya lagi dalam minggu-minggi mendatang” katanya dengan suara meyakinkan. ” Pak, bernasib benar kita hari ini, bapak pasti setuju jika sebagian uang tersebut untuk dana melanjut ke Perguruan Tinggi di Medan” kata Ucok sambil merayu bapaknya. Halomoan hanya senyum, tanpa mengatakan sepatah kata juga. Rencana Halomoan kali ini makin bertambah. Dengan uang kurang lebih sepuluh juta, ia membangun tugu nenek moyangnya di Samosir dengan biaya enam juta, belum termasuk acara adat dan makan bersama, yang besarnya satu juta. Memang membangun tugu nenek moyang atau marga merupakan suatu kebanggaan orang-orang Toba. Dengan membangun tugu, status sosial menjadi lebih terpandang dan dihargai penduduk. Halomoan menjadi terkenal karena bisa menaikkan status keluarganya. “Kehebatan” Halomoan menjadi pembicaraan penduduk.
Tanpa pikir yang lain-lain, diam-diam Halomoan akhirnya mewujudkan rencananya. Ia membeli seratus lembar togel versi enam angka, jadi seharga satu juta rupiah. Kali ini ia bermaksud menajdi pemenang seratus juta rupiah. Betapa tingginya impian Halomoan. Rencananya membuat ia selalu berdoa supaya mendapat mimpi lagi. Tiap malam ia berdoa minta kepada Tuhan supaya diberi mimpi versi enam angka. Satu minggu berlalu, namun mimpi belum juga datang. Hal itu tidak membuat ia putus asa. Sejenak ia merenung. Lalu akalnya muncul. Ia pergi ke Datu atau dukun peramal. supaya diberi angka atau petunjuk. Dukun, yang mereka sebut datu memberi syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syaratnya Halomoan harus menyediakan dan menyembelih ayam berwarna hitam pekat dan tak bercacat. Ayam itu harus disajikan di atas lemarinya dengan mengucapkan permohonan mimpi.
Malam itu juga, ia memenuhi seperti perintah datu tersebut. Setelah mencari ayam hitam, lalu menyembelih dan menyajikannya dalam talam di atas lemarinya dan mengucapkan permohonannya. Pagi-pagi hari Minggu itu ia agak telat bangun, sedang istrinya sudah lama bangun dan memasakkan ubi untuk sarapan mereka. Sekali lagi, ia kembali bermimpi tentang kuburan di tengah-tengah ladangnya. Keanehan mimpi tersebut tidak membuat Halomoan heran dan ragu-ragu. Halomoan langsung membahas mimpinya dengan buku tafsir mimpi di tangan kirinya. Kelihatanlah tetap empat angka yang sama dan tidak berubah. Lagi-lagi ia tidak terlalu heran. Barangkali keempat angka ini harus diacak dan menjadikannya seratus tebakan versi enam angka. Demikian timbul dalam pikirannnya. Semua angka hasil bahasannya ia tuliskan satu persatu pada lembaran yang sudah tersedia di kamar tidurnya. Dalam tiga jam, ia dapat menyelesaikan “pekerjaannya”. Pada hari itu juga ia pergi ke rumah Sitanggang menyerahkan lembaran-lembaran togelnya. Ia rela tidak masuk gereja demi seratus juta rupiah.
Minggu itu merupakan minggu pertama dalam bulan Mei. Ucok yang memilih jurusan ilmu eksakta selama ini sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir nasional. Ucok merasa yakin sudah siap menghadapinya. Selain pintar, ia rajin belajar baik pada malam hari maupun pada pagi-pagi kira-kira pukul empat. Ia membagi jadwal begini : malam hari mengerjakan pekerjaan rumah atau soal-soal latihan. Pagi-pagi ia mempelajari bahan yang akan diberikan gurunya. Hal itu dijalankannya seturut nasehat gurunya si Pandiangan.Tidak sia-sia semua usaha Ucok selama ini. Ia dapat menamatkan diri dengan nilai ujian akhir nasional dengan total nilai empat puluh sembilan. “Hebat juga saya …. bah. Aku bisa mencapai nilai rata-rata tujuh. Aku hampir menyamai kedudukan juara umum se- Kabupaten Dairi dengan nilai lima puluh empat dari jurusan ilmu eksakta” puji Ucok pada dirinya. Tahun ini menurut panitia ujian, nilai-nilai ujian akhir nasional merosot, sama seperti di beberapa daerah lain. Tahun lalu nilai tertinggi mencapai 63 untuk jurusan ilmu sosial.
Ucok bangga karena dapat memenuhi harapan ayahnya selama ini. Langkah berikutnya, tinggal memikirkan jenjang ke perguruan tinggi.
Sebagian impian Halomoan sudah terwujud. Kali ini kembali teringat bahwa ia harus menyekolahkan anaknya sampai setinggi-tingginya. Sebab bagi mereka, anakkhon ki do hamoraon di au. Semboyan yang berarti “anakku merupakan kekayaan bagiku” tersebut merupakan prinsip bagi kebanyakan orang Toba. Banyak orang Toba rela tanpa ganti pakaian baru dan dengan makanan yang sederhana, asal saja anaknya dapat melanjut sekolah setinggi-tingginya. Demikianah pula prinsip Halomoan terhadap anak tunggalnya. Impian untuk menyekolahkan anaknya tersebut digantungkan pada togel versi enam angka yang akan diumumkan besok Minggu.
Ketika hari pengumuman togel tiba, ia dengan penuh harapan menuju rumah Sitanggang yang jaraknya kira-kira sepuluh rumah dari sebelah kiri rumahnya. Sitanggang, yang pernah mendapat persenan, menyambutnya dengan sangat hormat dan hati-hati. Lalu ia memberi lembaran pengumuman yang datang dari bandar pukul tujuh pagi tadi. Halomoan menerima lembaran tersebut seraya bertanya “Angka berapa keluar Tanggang”. Namun, ia tidak mempedulikan jawaban pertanyaannya. Ia langsung melihat dan melihat sungguh-sungguh kertas berwarna-warni dan berukuran kwarto tersebut. Tak percaya, ia melihat kembali semua angka tebakannya dan mencocokkannya dengan versi enam angka yang keluar. Akhirnya, ia baru yakin. Tak satu pun angka tebakannya persis mengena dengan pengumuman. Namun ada satu tebakan yang membuat ia penasanan. Dari enam angka tebakannya, angka paling di ekor tidak mengena, selebihnya persis mengena. Inilah yang membuat wajahnya semakin memerah. Ia mulai marah dan hendak membunuh datu peramal si pembohong. Sambil heran dan tak percaya ia pulang ke rumah. Semakin lama, ia semakin marah dan pusing-pusing. Ia melangkahkan kaki dengan tidak teratur. Ucok dan Ria uli, ibunya sudah menanti sang bapak. Suasana tempat mereka berubah. Ucok dan Ria Uli memahami bahwa sang bapak pasti ketiban sial. Tanpa mengeluarkan kata-kata, Halomoan langsung menuju kamarnya, ia tergeletak, pusing dan stres berat. Ria Uli tidak bisa berkata apa-apa, sebab selama ini perbuatan ayahnya sudah diketahui melalui cerita Ucok.
Berhari-hari Halomoan tidak selera makan dan minum. Ia sudah lama berbaring dan mengurung diri di kamar tanpa boleh diganggu siapapun. Akhirnya Halomoan tidak bisa bergerak. Menurut mantari (dokter) desa, ia kena stroke. Ia harus opname di rumah sakit. Cepat-cepat Ucok menghentikan mobil penumpang di depan rumahnya, dan membawa ayahnya ke rumah sakit umum di kota Sidikalang, yang jaraknya dua jam perjalanan angkutan desa.
Sebagian penduduk bisa memahami mengapa Halomoan jatuh stroke. Sebagian lagi, memandang sebelah mata. Itulah nasib orang yang mengandalkan judi. Kalau dulu pujian berdatangan kepada keluarga Halomoan, kini hinaan datang menimpanya. Mengapa tidak gara-gara togel, Halomoan melalaikan tanaman padinya, yang selama ini hanya dikerjakan Istrinya dan Ucok anaknya.
Ucok tertegun memandang ayahnya yang belum sadar di rumah sakit. Impian untuk melanjut ke perguruan tinggi di Medan sudah pupus. Uang untuk biaya pengobatan ayahku pun sudah membengkak. Ucok hanya dapat mengeluh dalam hatinya. Semuanya pupus hanya karena angka di atas

Sumber :
Pormadi Simbolon

Lelaki yang Menjadi Minyak

Dolok Mardongan. Seribu pejantan tak akan pernah mampu mengawini dia sampai kapan pun. Karena dia juga pejantan. Dolok Mardongan, lelaki yang bisa mengisap puting seorang perempuan, bisa menyetubuhinya, atau menciptakan kata-kata yang memabukkan agar tubuh pualam para perempuan memperlihatkan kemilau rahasia di balik lipatan dada dan selangkangan. Dolok memang pejantan.
Karena itu, dia tak pernah mengerti setan-setan laknat yang kemudian berkeliling di setiap jendela dan pintu rumahnya. Kutukan siapa? Sedangkan ingar-bingar gagak, auman harimau yang terdengar dari hutan, tak pernah menakutkannya. Pisau yang kerap di pinggang, waspada bergeser di setiap bahaya.
Tapi, ini kutuk siapa?
Garis mana yang menentukan kalau dia tak pernah bisa punya anak?
Ratusan lelaki dari puluhan kampung nyatanya telah menghujatnya. Serupa serigala, melolong dan terus menatapnya. Rantai berantai. Dari perbukitan sebelah utara sampai selatan. Membayangi mimpinya.
Teror. Tapi itu tak pernah menakutkan Dolok. Walau dia tahu bahwa anak sangat berharga.
Jangankan anak lelaki, menghasilkan anak perempuan saja dia tak bisa!
Puluhan bulan dia mengawini tiga orang perempuan berturut-turut namun tak ada yang pernah berbuah anak dari kejantanannya.
Ditariknya garis silsilah1 puak2nya. Sempurna. Tak ada yang hilang dalam garis keturunan bapak, kakek dan leluhurnya. Bagai orang yang terluka dia terus mengeram penyakit yang bersarang di bawah perutnya. Dia merasa tubuhnya bisa jadi harimau, yang melantakkan tubuh perempuan serupa kucing yang basah kehujanan. Menggetarkan rumahnya setiap getar kejantanan itu datang. Serupa petir yang membahana dari antara pahanya, saat semua tak tertahan.
Anak. Anak.
Puak. Puak. Puak.
Kata-kata mengepung di kepalanya serupa mantera.
Apakah garis silsilah Dolok akan berhenti begitu saja, selepas nyawanya tanggal dari bumi tengah3 ini? Alangkah merana rohnya yang hanya bisa termangu ketika garis puak hanya berujung pada namanya saja.
***
Telah dia jalani beratus hari pertapaan di dalam gua-gua yang sempit, berlumut dan berair. Telah ditutupnya mata dari segala tempat yang menyimpan kegelapan abadi di sepanjang musim. Rambutnya makin memanjang atas sumpahnya tak akan memotong rambut selama azab ini tak berakhir.
Dolok tak pernah mengerti. Di atas angin, pada ujung gunung tertinggi, Dolok Panatapan, ujung dari huta-huta4 ini, dia pernah mengaum mengerikan di atas lerengnya. Menatap liar pada percikan senja di Danau Toba. Menggeram, dan menakutkan para penduduk yang ada di huta-huta terdekat, tempat dia berdiri.
Namun siapa pun tahu. Lukanya adalah luka kehormatan. Lukanya tak akan tersembuhkan. Lukanya tak akan tertandingi. Lukanya adalah luka puak!
Sudah nyaris sepuluh garis keturunan hingga dirinya. Nama yang berhenti adalah malapetaka.
Sedangkan dua hari kemarin saja sudah menyinggung kejantanannya.
“Dolok itu perempuan. Buktinya dia tak punya anak dari istri-istrinya…”
“Dolok itu bukan lelaki. Lihat saja perutnya makin membuncit, jangan-jangan dari perutnya akan keluar bayi…”
Oh Ompu Mulajadi Nabolon!
Dolok tahu perutnya membuncit. Tapi itu karena tuak. Itu karena dia suka makan babi. Itu karena dia lahap menelan lemak.
Jadi, itu bukan bayi!
Tak pernah dia bayangkan dia adalah perempuan. Hingga sekarang, dia juga yakin kalau dia memang bukan perempuan.
Tak ada yang bergerak-gerak di dalam perutnya. Bahkan sampai dia meloncat-loncat di atas tanah, tak ada yang meronta di perutnya. Dolok melompat dari rumah, berguling dan membenturkan perutnya dengan tanah, tak ada keluhan apa pun kecuali memar di otot dan kulit perutnya. Dia pukulkan dengan tangan dan dengan batu, hingga darah mengalir dari perutnya yang sobek.
Dia kemudian melumuri dedaunan untuk menyembuhkan luka di perutnya karena segala perbuatannya itu. Dia yang mengobati perutnya sendiri. Tak boleh ada yang tahu. Ini menyangkut harga diri. Sekalipun dia kerap diejek, jangan orang sampai tahu kalau dia sampai ragu pada kejantanannya sendiri.
Bahkan tiga istrinya pun tak pernah ada yang tahu, kalau Dolok mulai ragu pada perutnya yang semakin membesar.
***
“Ini bayi ataukah lemak, Dewa Penguasa atas segala yang ada di bumi tengah, bumi terbawah dan bumi teratas?” jeritan batinnya, sambil menunjuk pisau ke perutnya. Dia gemetar. Bukan takut. Namun tak mungkin ditusukkannya perutnya pada saat ini. Karena itu, tak dilakukannya apa pun pada perutnya itu.
Di gua yang sunyi ini dia kembali menghilang dari keramaian. Dia menjauh dari ketiga istrinya. Dia bahkan sudah mulai tak berselera lagi menuruti kejantanannya pada tubuh-tubuh mereka. Sejak teror demi teror dan suara ejekan itu semakin memenuhi ruangan kepalanya.
Kalau dia pejantan di kesunyian ini, dia adalah jantan yang terluka.
Di tiap tempat dia selalu terluka.
Di huta, dia tak bisa melihat bayi. Dia tak tahan menyaksikan perempuan menggendong bayi. Dia tak tahan menyaksikan seorang bapak yang sedang mengajari anaknya yang remaja mencangkul. Juga para lelaki remaja yang berjalan bersama bapaknya. Berkebun atau berburu.
Dolok bahkan akan menjerit dan meronta dalam hatinya, setiap melihat perempuan yang dalam keadaan hamil.
Kejantannya semakin lemah tak berdaya. Menggelepar pelan serupa ikan emas yang siap diolah menjadi arsik6 di atas api pembakaran.
Apalagi ketika para istrinya telah siap dijemput keluarga. Semua menyatakan penyesalannya karena siap mengambil anak perempuannya karena Dolok tak bisa memberikan keturunan buat anak perempuan mereka.
Siapa yang tak perih atas harga diri yang semakin terinjak-injak ini? Kesunyian apalagi yang siap diciptakan alam buatnya? Setelah hinaan, setelah pertapaan yang hening dan mengerikan, kini para istrinya pun akan dijemput oleh para keluarga dari puak masing-masing.
Alangkah azabnya lelaki yang tak pernah punya anak!
***
Di pertapaan ini, di gua yang berair dan lembab, dia telah menyiapkan segalanya. Doa terakhirnya pada Debata7. Diikatnya kepala dengan ulos8 yang hitam. Diselempangkannya juga ke dada. Celana hitamnya yang sampai betis kini semakin tak bergerak ketika dia duduk dalam sebuah keheningan. Bersidekap, tangannya menyatu alam, matanya menutup rapat. Ditutupnya telinga dari suara-suara. Menembus tetes air di gua dan menyisihkannya, menjalani alam roh leluhur.
Dolok terpanggang dalam sepi.
Berhari-hari, berminggu-minggu, entah sudah keberapa kali bulan muncul di langit luar sana, dia tetap bertahan di dalam gua. Sampai mencari makan di tempat itu. Mulai dari lumut, tikus hingga apa pun yang pernah ada dan pernah melintas ke gua ini. Sampai bernapas dan membuang isi kotoran dari perutnya, dia tetap bertahan di ruangan terdalam dan sunyi itu.
Mencari bayangan, menatap bayangan, hingga mengejarnya dengan bayangan rohnya pula.
Dia sering melupakan diri. Melepaskan tubuhnya di tengah keheningan yang dimaharajalelakannya. Dibiarkannya terenggut rohnya mencari petunjuk dari langit, tentang nasib, tentang garis yang dijalankannya. Puak adalah junjungan, garis keturunan adalah keniscayaan, nasib apa yang telah digariskan dan dititahkannya jauh sebelum dia lahir ke tanah dunia tengah ini?
***
Dalam sebuah pertemuan adat, tiba-tiba saja Dolok muncul. Di antara para lelaki yang telah punya nama: Amang si anu, bapak dari si anu, keberadaan jelas tak diterima. Tapi, Dolok, si lelaki yang tak ubahnya bujangan itu, tiba-tiba saja telah menyeruak di antara mereka.
Dolok yang tak punya nama, kecuali namanya sendiri. Karena itu dia bisa sederajat dengan para bujangan. Dolok tak punya embel-embel Amang dengan nama anak. Dolok Mardongan sebutannya tetap Dolok.
Mata para lelaki muda, setengah baya hingga kakek tua di pertemuan antar-kampung itu kemudian menatapinya. Dengan pandangan mengerikan, sinis memandang Dolok. Lelaki yang menjelma perempuan, atau sebaliknya, perempuan yang menjelma sebagai lelaki.
“Hai seluruh dongan tubu, seluruh saudara dari puakku…”
Sambil berteriak serupa auman mengerikan dari wajah yang pucat namun tak memperlihatkan kelelahan, dia berdiri serupa batu karang. Kakinya kokoh sekalipun kotor dengan lapisan tanah dan lumpur hitam.
Orang-orang mulai ketakutan. Apalagi ketika dia mengacungkan tinggi-tinggi pisau ke atas kepalanya setelah mengarahkannya ke perut.
Semua terpana. Dolok yang baru muncul setelah lama menghilang. Seakan lenyap dari bumi. Setelah orang-orang tahu, pastilah dia berduka atas seluruh malapetaka yang menimpanya.
Seluruh istrinya tak lagi ada di sampingnya. Pergi dari rumah Dolok yang berpagar kayu. Setelah dia tak diketahui keberadaannya, tetap tak ada yang berani menyentuh rumah Dolok, termasuk orang-orang satu huta atau sanak semarganya yang lain. Mereka tahu Dolok sedang sedih atau sedang murka. Dan orang murka pasti akan mengerikan bila ada yang menyinggung hatinya.
Kini, Dolok terlihat begitu jantannya. Sekalipun dalam hati orang masih curiga kalau ada anak di perutnya. Kini mereka menanti apa yang akan dilakukan Dolok.
“Aku akan tunjukan, kepada kalian semua. Aku lelaki, penjaga garis puakku. Namaku akan tetap ada di samping kalian…”
Semua diam. Bukan tak tahu apa yang dia maksudkan, tapi lebih karena seluruh orang-orang di sekelilingnya memang agak gentar.
“Aku akan membelah perutku! Tak pernah ada bayi di dalam perut ini. Tak pernah ada. Karena aku bukan perempuan!”
Semua orang terkaget pada kenekatan yang akan dilakukannya. Semua terpana.
Bahkan ketika orang-orang mulai mendengar ada suara tangis perempuan tua jauh di belakang kerumunan para lelaki. Ibu dari Dolok, perempuan yang telah melahirkan lelaki itu ke dunia.
Bukan sekedar tangisan, lebih berupa ratapan.
Tangisannya sangat menyayat: “Jangan kau lakukan itu, Dolok… Jangan. Biarkan, orang-orang meragukanmu. Inang tahu, kau tetap seorang lelaki…”
Orang-orang mulai riuh. Berbisik. Beberapa mata mulai menatap Ibu dari Dolok.
“Dengar, dengar tak ada yang bisa menghalangiku. Inang, berikan aku kesempatan menunjukkan kepada mereka, bahwa akulah lelaki. Tak ada bayi di sini, yang ada hanyalah minyak…”
Semua orang di pertemuan huta ini mulai berteriak gemuruh. Tak jelas kalimat-kalimat mereka, karena setiap orang hendak menyuarakan hatinya masing-masing.
“Hanya permintaanku, pertahankanlah namaku di marga dan puakku. Pertahankan namaku…”
Semua masih terdiam. Tak ada yang berani bicara.
Hingga seorang yang tertua di antara rombongan itu maju. Mengangkat tinggi-tinggi tangannya. Pertanda takzim. Dengan wajah yang takjub.
“Anakku Dolok, kalau itu maumu. Biarlah terjadi yang kau inginkan itu. Biarlah dijalankan keinginan rohmu itu…”
Dolok membisu. Dia tak mengangguk, tak pula bergerak. Kecuali matanya yang menyiratkan kepastian. Lalu matanya cepat dan tanpa keraguan, beralih ke perut. Tangannya tak gemetar ketika menghujamkan pisau itu kuat-kuat ke perutnya.
Orang-orang bersuara keras. Inang Dolok menjerit histeris. Begitu pun para kaum ibu dan kaum perempuan di belakang ibunya, setelah mengetahui apa yang telah terjadi. Dolok, siapakah Dolok ini? Siapa yang menuntunnya sekarang untuk melakukan hal yang mengerikan itu?
Namun, mereka telah menyaksikan pisau telah menancap di perutnya. Tangannya gemetar. Tubuhnya bergolak, lalu limbung dengan tatapan yang nanar, sebelum akhirnya menutup dengan tenang.
Lalu setelah jatuhnya tubuh itu, terlihatlah segala yang tak mereka percayai di hadapan mereka. Ada cairan minyak merembes keluar dari luka di perutnya yang menganga. Nyatalah di hadapan mereka, perut Dolok berisi minyak. Bukan anak!
Lalu tanah di sekitar tubuh Dolok yang rubuh terus berminyak oleh ceceran lemak yang keluar dari antara darah yang mengalir dari perutnya. Namun tak pernah ada bayi. Memang tak ada bayi. Kecuali minyak yang semakin membasahi dan mengaliri tanah yang kecoklatan. Sampai tanah mulai memperlihatkan pantulan warna dari cairan yang jernih. Pantulan minyak itu.
Demikianlah, hingga hari itu, hingga esoknya. Bahkan hingga bulan terbit puluhan dan ratusan kali, atas segala kejadian itu, orang-orang tetap mengingatnya.
Sekalipun tubuh Dolok telah dikuburkan. Tulangnya digabungkan bersama simin10 semarganya, namanya tetap melekat dan dipertahankan di antara puak.
Bahkan, tak satu pun orang yang berani menamakannya Dolok. Padanya dibuat julukan lain: Kakek yang Menjadi Minyak. Ompu Na Gabe Miak. Karena bagi orang Batak, sebutan nama memang sesuatu hal yang perlu dihindari. Apalagi bila dia bukan seorang bujangan. Dolok pernah beristri.
Dia memang bukan perempuan. Dia pejantan di antara silsilah puak. Di antara garis keturunan marga. Hal itu hingga sekarang tetap dicamkan oleh orang-orang di kampung. Bahkan oleh tiap marga yang pernah mengenal dan mengenang ceritanya, dapat membaca nama Dolok tertulis di simin itu.
Jakarta-Paranginan, 1992-2004
Sihar Ramses Simatupang
* Kisah ini diangkat dan diinterpretasi secara bebas dari legenda salah satu marga Tapanuli Utara.
  1. Silsilah, tarombo (bahasa Batak): garis keturunan di dalam marga masyarakat Batak, yang berurutan hingga turun-temurun.
  2. Puak, sama dengan marga atau klan keluarga.
  3. Bumi tengah, atau dunia tengah: kepercayaan di masyarakat Batak tradisional. Banua Toru (Alam Bawah), Banua Tonga (Alam Tengah) dan Banua Ginjang (Alam Atas).
  4. Huta: kampung
  5. Ompu Mulajadi Na Bolon: Tuhan Yang Maha Esa, Yang Pertama Menciptakan dan Yang Terbesar.
  6. Arsik: sejenis masakan ikan utuh – umumnya ikan mas – yang dimasak bersama banyak bumbu dan air sampai kering, rasanya seperti pepes, warnanya kuning-oranye.
  7. Debata adalah Yang Maha Kuasa atau Sang Hyang.
  8. Ulos adalah kain tenunan Batak yang dianggap sakral dan mempunyai arti khusus menurut motifnya.
  9. Dongan tubu secara harfiah berarti teman lahir, maknanya adalah keluarga dekat yang sedarah.
  10. Simin: berupa bangunan tempat seluruh kerangka atau peti jenazah semarga dikumpulkan.
Sumber : Sinar Harapan

Sebuah Negeri Di Balik Matahari

“Saya sudah ikhlas. Saya sudah ikhlas,” ucap seorang perempuan sambil terisak-isak. Usianya sekitar tigapuluhan. Kerudung hitam itu tak dapat menyembunyikan kesedihannya. “Saya iklhas, Pak. Semua ini demi bangsa dan negara.”
Terus saja kata-kata itu keluar dari mulutnya sambil menyalami tamu dan kerabat yang berdatangan. Kebanyakan tamu yang datang menggunakan seragam hijau dengan sepatu bot tinggi, tak lupa emblem merah-putih menghias di lengan kanannya. Maklumlah, ini memang pemakaman seorang prajurit perang.
Perempuan itu, Lastri namanya. Tiga bulan ini tengah mengandung benih sobatku, Bayu. Aku masih ingat betul bagaimana keceriaan Bayu saat mendapat kabar kehamilan istrinya. Saat itu kami sedang bertugas di Padeka, sebuah pulau di kawasan timur negara ini. Rasanya baru kemarin saja.
“Woi, istriku hamil…istriku hamil, Nang!” kata Bayu sambil melonjak-lonjak di atas kasurnya.
“Wah…hebat sekali kau. Baru tiga bulan hidup seranjang, sudah kau hamili pula anak orang.”
“Berkat ramuan dari simbah, Nang. Kalau kau mau nikah nanti, pasti kuberi.”
“Jangan-jangan sudah nyicil dulu sebelum ke penghulu?” gurauku.
“Ha..ha..ha…ha..” kami berdua tertawa bersama sambil berangkulan erat. Benar-benar sahabatku.
“Ayo bangun! Ayo bangun!” suara komandan kompi sambil memukul-mukulkan tongkat kayu ke pintu barak. Mengagetkan, membuyarkan segala lamunan.
“Cepat sedikit! Matahari sudah mulai tinggi!” ujarnya lagi tak sabar.
Bergegas semua prajurit berpakaian lengkap dengan senjata masing-masing dan berlari menuju barisan di lapangan. Pagi ini kami akan melakukan operasi, sweeping besar-besaran. Akibat kematian sobatku kemarin, komandan memutuskan untuk menyisir pemberontak di kawasan Nangada. Benar-benar operasi besar. Hampir seluruh kekuatan pasukan dan persenjataan dilibatkan. Namanya, “Operasi Bela Bala”
Aku sendiri sebenarnya belum lagi dapat mengusir kantukku. Semalam, tidur tak terasa nyenyak.
“…Semua demi bangsa dan negara..” Ucapan Lastri kemarin terngiang-ngiang terus dalam benakku. Entahlah, sepulang dari pemakaman terus saja kata-kata itu memenuhi benak.
Barisan kata ini memang bukanlah pertama kalinya kudengar. Terlahir dalam keluarga besar tentara membuatku tak asing lagi dengannya. Ayah, dua tahun lalu meninggal, adalah anak dari seorang panglima purnawirawan angkatan ’45 dengan puluhan bintang jasa perang. Setiap kali sebelum berangkat tidur malam, selalu menyempatkan berkisah padaku tentang kepahlawanan kakek pada masa lalu dalam mengusir penjajah. Nah, di ujung ceritanya keluarlah kata-kata itu, “Semuanya demi bangsa dan negara.” Kata-kata yang pula menginspirasiku untuk masuk ke dinas ketentaraan selepas sekolah lanjutan. Bulat sudah tekadku kala itu, demi bangsa dan negara.
“Apakah benar, kami di sini demi bangsa dan negara? Apa benar Bayu mati demi bangsa dan negara?” kembali tanyaku dalam batin. Saat itu barisan tentara sudah mulai bergerak menyusuri padang ilalang menuju hutan yang dicurigai sebagai tempat persembunyian pemberontak.
“Lalu, para pemberontak itu mati demi apa?” batinku bertanya lagi. Tak habis pikir aku dibuatnya. Dulu, jaman kakek mungkin lebih enak, lebih jelas soalnya. Musuh kami adalah bangsa asing yang memang berniat menjajah dan membodohi negeri ini.
“Nah, kalau yang sekarang kami hadapi bukankah orang sendiri?” suara hatiku lagi.
“Ayo cepat jalan, jangan ngelamun,” sebuah hentakan kecil di pundak membuyarkan lamunanku. Buru-buru kugegaskan langkahku mengikuti barisan.
“Tiarap! Tiarap!” teriak komandan tiba-tiba.
“Musuh ada di sektor timur, di rerimbunan pohon!” katanya lagi.
Mulailah baku tembak terjadi. Semua saling berlarian menyusun posisi. Menyembunyikan diri ala kadarnya di balik semak-semak untuk kemudian berusaha melepaskan tembakan ke arah pemberontak. Semakin seru ditingkah desingan peluru yang tak lagi jelas siapa sebenarnya yang disasar.
“Merdeka! Merdeka!,” teriak lantang dari arah pemberontak. Tak sempat kukenali wajahnya. Selain memang masker yang membungkus mukanya, rerimbunan pohon pun menghalangi.
“Usir penjajah, jangan biarkan kita ditindas,” sambung kelompok yang lain.
“Hah, apa lagi ini?” aku semakin bingung.
“Merdeka? Penjajah? Ditindas? Apa pula ini?” berbagai pertanyaan ini mulai merasuki otakku.
Bagaimana tidak? Bukankah aku disini justru untuk mengamankan negara ini, menjaga kemerdekaannya. Aku disini tak pernah minta imbal apapun. Kedudukan, pangkat, bahkan harta tak ada sangkut pautnya denganku. Hanya demi negeriku-lah aku di sini berada.
Lantas, “Siapa yang menindas, tertindas dan untuk apa?” batinku lagi.
Gara-gara kebingungan ini, tak sempat kumuntahkan satu pelor pun dari senjataku. Jari telunjukku tak siaga di pelatuknya. Hanya kugenggam saja. Bahkan, karenanya pula tak sempat ku cari perlindungan. Malahan berdiri dan kudongakkan kepalaku hanya sekedar mencari si empunya suara tadi. Ingin kutemui segera demi memuaskan semua tanya yang kini berkecamuk dalam diri.
Belum lagi segala pertanyaan itu terjawab, tiba-tiba kurasakan nyeri di dada kiriku. Aku terdiam mematung. Perlahan kuberanikan tangan kananku meraba asal sakit itu.
“Basah, seragamku basah oleh darah…,” batinku berkata.
Nyeri itu bergerak cepat menguasai bagian dalam tubuhku, merangsek kesadaranku. Semua terasa buram tiba-tiba, seperti siluet saja. Aku terjatuh telentang di tanah yang masih basah oleh embun pagi. Diam saja sambil merasakan nyeri. Minta tolong toh percuma. Kawan lain pun pasti sedang kebingungan menghadapi lawan yang bak siluman, tak ada habisnya. Begitu yang satu hilang, ada lagi yang muncul dari balik rerimbunan pohon. Entahlah, jangan-jangan mereka memang anak dari pohon-pohon ini. Keturunan sah tanah ini.
Tiba-tiba sesuatu menyilaukan mataku. Matahari sudah mulai tinggi rupanya. Sayang, kicauan burung tak ikut datang bersamanya. Walau demikian, tak mengurangi pesonanya. Damai sekali rasanya. Membuatku memejamkan mata perlahan. Dengan terpejam kucoba nikmati hangatnya sinar dan ilusi kicau burung. Tenang dan tak lagi digelayuti berbagai pikiran yang tadi.
Sekarang, hanya satu ada dalam benakku. Impian sebuah negeri di balik matahari sana. Sebuah negeri yang damai. Tanpa bendera untuk dibela dan tanpa senjata pemusnah sesama. Di sana, pastilah tidak ada tentara. Sehingga tak perlu lagi rentetan kisah “Demi bangsa dan negara” terus bergulir ke generasi lainnya. Mungkinkah?
Sementara di medan pertempuran, entah sudah berapa peluru muntah. Suara erangan lawan atau kawan tak lagi dipedulikan. Setiap orang sedang bergulat cari selamat badan sendiri. Kalut sudah, pokoknya tembakkan saja ke depan. Kena syukur-nggak kena ya tembak lagi saja terus. Hanya ada satu pegangan, bunuh atau terbunuh. Hancur sudah segala strategi yang disusun semalaman.
“Ah sudahlah. Setidaknya saat ini negeri itu ada dalamku, walau hanya untuk berapa detik lagi,” hiburku pada diri sendiri.
Matahari mulai berpindah ke ufuk barat, medan pertempuran sunyi senyap. Hanya tampak beberapa penduduk setempat dengan kaki setengah berjingkat mengais rejeki dari tubuh yang tak lagi bernyawa. Menggerayangi saku bahkan menelanjanginya, berusaha ‘menyelamatkan’ barang yang tersisa untuk melanjutkan hidupnya. Toh memang barang-barang itu tak lagi berguna bagi mereka yang telah mati, pikir mereka.
Di sisa medan pertempuran itu pula, seorang pemuda setempat bertelanjang dada dibuat heran oleh mayat prajurit doreng dengan senyum tenang menghias di wajahnya. Nanang Prakosa, hanya itu saja yang tertulis di dada tubuh kaku itu.
“Ah masa bodohlah.” katanya dalam hati. Tak lama heran itu hinggap, segera dilucutinya pula ‘sisa’ yang melekat di tubuh prajurit tadi.
Keceriaan berpindah ke pemuda yang kini tak bertelanjang dada lagi. Seragam berlubang di dada lengkap dengan noda darah kini menutupi tubuh kurusnya.
“Setidaknya, rejeki hari ini bisa menghidupi keluargaku selama seminggu. Coba saja kalau terus ada pertempuran besar tiap hari, bisa kaya aku,” gumamnya dengan senyum tersungging sambil terus melangkah pulang ke arah matahari terbenam.
Sumber : (Rinaldi Dorasman Gultom) Cyber Satra

Hidangan dari Tanah Batak

DENGKE LAEN
Dengke LaenBAHAN :
500 gram ikan tawes
10 tangkai serai, dimemarkan
1 liter air
2 lembar daun salam
3 buah asam sunti
300 ml air
BUMBU HALUS :
3 cm kunyit
1/2 sendok teh merica
2 cm jahe
2 buah cabai rawit
5 butir kemiri
1/2 sendok teh garam
CARA MEMBUAT :
1. Lilit ikan dengan daun mendon (dapat diganti serai).
2. Rebus 1 liter air hingga mendidih. Masukkan ikan yang dibungkus, masak sampai matang.
3. Buat saus, aduk bumbu halus, daun salam, asam sunti, dan air lalu masak hingga matang dan mengental. Sajikan ikan dengan saus.
Untuk 4 porsi
PALAI BADA
Palai BadaBAHAN :
400 gram teri basah, dibuang kepala
1 sendok teh air jeruk nipis
150 gram kelapa yang sedang, dikupas, diparut kasar lalu ditumbuk halus
1 lembar daun kunyit, diiris tipis
3 lembar daun mangkokan, diiris tipis
5 pucuk daun kemangi
daun pisang untuk membungkus
BUMBU HALUS :
5 buah cabai merah
8 butir bawang merah
3 cm kunyit
1 cm jahe
1 tangkai serai
3 sendok teh garam
CARA MEMBUAT :
1. Aduk teri, bumbu halus, dan air jeruk nipis.
2. Masukkan kelapa, daun mangkokan, daun kunyit, dan daun kemangi
3. Bungkus di daun pisang, semat kedua ujungnya lalu bakar di bara api hingga matang.
Untuk 8 porsi
DAUN SINGKONG TUMBUK / IKKAU RATA
Daun SingkongBAHAN :
100 gram daun singkong, dibakar hingga layu
100 gram ikan asap
10 butir bawang merah, diiris tipis
5 buah cabai hijau, dibelah 2 bagian
5 buah terong telunjuk, dibelah 2 bagian
100 gram tekokak, dibakar
1 sendok teh garam
400 ml santan dari 1 butir kelapa
CARA MEMBUAT :
1. Tumbuk kasar daun singkong, bawang merah, cabai hijau, terong, dan tekokak.
2. Didihkan santan bersama garam lalu masukkan campuran daun singkong.
3. Tambahkan ikan asap, aduk sampai bumbu meresap.
Untuk 6 porsi
NANI URA
NaniuraBAHAN :
500 gram ikan mas
1 sendok teh air jeruk nipis
1/2 sendok teh garam
1 batang serai, dimemarkan
BUMBU HALUS :
6 butir bawang merah, dibakar
5 buah cabai merah
2 buah cabai rawit
8 butir kemiri sangrai
3 cm kunyit
2 sendok teh ketumbar
2 cm lengkuas
2 sendok teh garam
CARA MEMBUAT :
1. Bersihkan ikan, belah punggungnya lalu tambahkan air jeruk nipis dan garam, diamkan selama 15 menit.
2. Lumuri bumbu halus.
3. Letakkan di pinggan tahan panas lalu kukus sampai matang.
4. Biasanya Nani Ura disajikan mentah, tanpa dikukus
Untuk 6 porsi
RAJUNGAN GORENG
Rajungan GorengBAHAN :
500 gram rajungan
1 sendok teh air jeruk nipis
1 butir telur, dikocok lepas
minyak untuk menggoreng
BUMBU HALUS :
4 buah cabai merah
2 cm jahe
1 sendok teh merica
6 siung bawang putih
1 sendok teh garam
CARA MEMBUAT :
1. Bersihkan rajungan, lumuri air jeruk nipis, diamkan selama 15 menit.
2. Tambahkan bumbu halus dan telur. Aduk rata.
3. Goreng hingga matang.
Untuk 4 porsi
SAMBAL UDANG
Sambal UdangBAHAN :
400 gram udang jerbung ukuran besar, dibuang kepalanya
2 lembar daun salam
1 sendok teh air jeruk nipis
2 buah jeruk limau, diambil kulitnya lalu diiris tipis
200 ml santan dari 1/2 butir kelapa
BUMBU HALUS :
4 buah cabai merah
2 buah cabai rawit
8 butir bawang merah
3 siung bawang putih
2 cm jahe
3 cm kunyit
1 sendok teh terasi
1 batang serai
5 butir kemiri sangrai
1/2 sendok teh gula
3/4 sendok teh garam
CARA MEMBUAT :
1. Lumuri udang dengan air jeruk nipis, diamkan selama 15 menit.
2. Tumis bumbu halus dan daun salam hingga harum.
3. Tuang santan lalu masak hingga mendidih.
4. Masukkan udang, masak sampai matang. Taburkan kulit jeruk limau, aduk lalu sajikan
Untuk 5 porsi
TUMIS KACANG PANJANG
Tumis Kacang PanjangBAHAN :
20 lonjor kacang panjang, dipotong miring
4 buah ampela ayam rebus, diiris tipis
100 gram udang kupas
1 buah asam gelugur
2 batang serai, dimemarkan
5 buah cabai merah, diiris miring
10 butir bawang merah, diiris tipis
400 ml santan dari 1 butir kelapa
3 sendok makan minyak goreng
BUMBU HALUS :
3 cm kunyit
5 siung bawang putih
2 cm lengkuas
1 cm jahe
1 1/4 sendok teh garam
CARA MEMBUAT :
1. Tumis bumbu halus, serai, cabai merah, dan bawang merah sampai harum.
2. Masukkan ampela dan udang sambil diaduk hingga berubah warna. Tambahkan kacang panjang.
3. Tuang santan lalu masak sampai matang dan kuah kental.
Untuk 6 porsi
SAMBAL IKAN TERI
Ikan TeriBAHAN :
250 gram ikan teri medan, digoreng
2 lembar daun salam
50 gram kacang tanah, digoreng · 1 sendok teh air jeruk nipis
3 sendok makan minyak untuk menumis
BUMBU HALUS :
10 butir bawang merah
2 siung bawang putih
6 buah cabai merah
CARA MEMBUAT :
1. Tumis bumbu halus dan daun salam hingga matang.
2. Masukkan air jeruk nipis, kacang tanah, dan teri medan, aduk rata.
Untuk 6 porsi
Sumber : Segala Sumber

Natinombur

Dua minggu lalu, ketika melakukan pengambilan gambar untuk Wisata Kuliner, dalam hari yang sama saya menemukan dua masakan yang mirip satu sama lain, tetapi datang dari dua daerah yang berjauhan.
Yang pertama adalah lele penyet gaya Madiun di sebuah gerai di Taman Kuliner Kali Malang, Jakarta Timur. Semula saya agak skeptis ketika melihat menu itu. Apalagi istimewanya lele penyet atau pecel lele, sih?
Tetapi, yang kemudian tersaji di depan saya adalah sebuah hidangan yang langsung membuat saya terpesona tak berkedip. Dalam bayangan saya, yang akan saya hadapi adalah seekor ikan lele besar yang digoreng, dipenyet dengan sambal terasi merah, dan ditaburi daun kemangi. Yang kemudian datang ternyata sama sekali berbeda. Dua ekor lele kecil digoreng crispy, dan sambalnya berwarna kekuningan, dengan rajangan daun kemangi tampak menyembul dari sambal itu. Aroma harumnya pun sangat beda. Ada semburat wangi kencur muncul dari sajian itu.
Begitu saya cicipi, serta-merta saya bilang: “Mak nyuss!” Sungguh mengesankan! Penampilan, aroma, dan citarasa, semuanya prima. Ikan lele yang belum seberapa besar membuat dagingnya lebih manis, dan tulang-tulangnya pun masih cukup empuk untuk dikremus dengan geligi sampai hancur. Ekstra kalsium! Sambal kemirinya dengan rasa kencur yang cukup kuat, ditingkah rajangan kemangi, membuat penikmatnya merem-melek.
Dari Kali Malang kami ke Kebayoran Baru. Di jalan yang rindang oleh pepohonan besar, sebuah bekas rumah dinas PLN diubah menjadi restoran yang menghadirkan masakan khas Tapanuli. Ini memang sebuah kekecualian: makan masakan Batak bukan di lapo tuak, melainkan di sebuah rumah asri. Ternyata, seorang ibu pemiliknya berhasil pula menghadirkan masakan Tapanuli gaya rumahan dalam versi yang otentik.
Yang saya pesan adalah ikan tombur. Orang Batak sendiri biasa menyebut hidangan ini dengan istilah natinombur. Arti harafiahnya: yang di-tombur. Jadi, ikannya boleh ikan apa saja, misalnya: ikan mujair, ikan mas, ikan lele, dan sebagainya. Ikannya bisa digoreng, bisa pula dibakar - tergantung kesukaan masing-masing. Tombur-nya adalah sambal atau bumbu yang dilumurkan di atasnya.
Ketika hidangan yang saya pesan tiba, saya pun langsung terkesiap. Déjà vu? Ikannya juga ikan lele, dan sambal di atasnya sekilas tampak seperti lele penyet madiun yang sebelumnya saya hadapi di tempat lain. Nyata sekali kesamaan bahan dasar sambalnya yang sama-sama dibuat dari kemiri.
Saya langsung jatuh cinta pada lele tombur ini. Kualitas sambal tomburnya luar biasa, dengan citarasa yang complicated. Secara umum sambal tombur ini memang mirip dengan bumbu naniura - masakan khas Tapanuli lainnya yang dibuat dari ikan mas mentah. Tetapi, natinombur tidak semasam naniura. Ada rasa tajam-pedas (pungent) yang mencuat dari natinombur, menandakan penggunaan andaliman dalam jumlah yang cukup banyak.
Sedihnya, ketika saya mencoba meng-google tombur di ruang maya Internet, satu-satunya resep yang muncul justru dari situs berbahasa Belanda: kokkieblanda - heerlijk en eerlijk koken. Di situ bahkan saya jumpai begitu banyak resep masakan daerah Indonesia lainnya. Ikan tombur di situs itu diterjemahkan sebagai gebakken vis met sambal (ikan goreng dengan sambal).
Sayangnya, dalam resep si kokkie dari Holanda ini, resepnya tidak lagi mengikuti pakem aslinya. Maklum, resepnya harus disederhanakan sesuai dengan ketersediaan bumbu di negeri itu. Padahal, bahan untuk membuat tombur sangatlah complicated, seperti tercermin pada citarasanya. Untuk menciptakan keasamannya dipakai jeruk sundai dan asam gelugur (Garcinia atrovridis). Untuk kepedasan yang menohok, selain cabe dipakai juga andaliman (Zanthoxylum piperitum, juga sering disebut Szechuan peppercorn). Andaliman memang bentuknya mirip lada atau merica. Bumbu-bumbu tombur lain adalah sereh, kunyit, lengkuas, daun jeruk, dll.
Jeruk sundai, asam gelugur, dan andaliman adalah bumbu-bumbu khas yang banyak hadir dalam masakan Tapanuli. Orang Batak juga suka memakai kucai dalam masakan mereka, seperti tampak hadir dalam ikan arsik, naniura, natinombur, dali ni horbo, dan lain-lain. Asam gelugur sebetulnya adalah tanaman serbaguna yang perlu dipopulerkan kembali karena semakin jarang adanya. Sebagai elemen penghijauan, pohonnya sangat cantik. Di Malaysia, tanaman asam gelugur disebut “Si Pohon Indah dari Semenanjung”. Buahnya dapat dipakai sebagai bumbu masak, selai, sirup, dan manisan. Rasa asamnya khas dan beda dari asam jawa (tamarind).
Masakan Tapanuli mengalami stigma yang sama dengan masakan Bali dan Manado. Banyak yang menduga bahwa masakan dari ketiga daerah itu selalu mengandung bahan-bahan yang tidak halal. Padahal, bila mengenalinya dengan baik, ketiga daerah itu memiliki kekayaan kuliner yang sangat kaya dengan makanan-makanan yang dapat disajikan secara halal.
Pada masa awal kelahiran Komunitas Jalansutra, kami pernah menyelenggarakan semacam “tutorial” untuk memerkenalkan masakan khas Tapanuli kepada beberapa anggota kami. Ito Tiur yang memang halak hita memimpin acara itu. Akibatnya, banyak di antara kami yang sekarang “kecantol” kelezatan masakan Tapanuli.
Yang paling aman bagi teman-teman Muslim untuk mencicipi masakan Tapanuli adalah dengan mendatangi rumah-rumah makan Tapanuli Selatan. Di Medan, kebanyakan warungnya bertanda “Tapsel Madina”. Artinya, Tapanuli Selatan Mandailing Natal.
Selain rumah-rumah makan Tapsel Madina, rumah-rumah makan Sibolga juga banyak dapat dijumpai di Medan. Orang Sibolga yang mayoritas Muslim tentu saja memiliki hidangan andalan mereka sendiri. Yang jelas, masakan mereka sangat beda dari hidangan Melayu Deli yang juga banyak dijumpai di kawasan Sumatra Utara.
Rumah-rumah makan Sibolga dan Tapsel Madina ini biasanya mengedepankan hidangan dari ikan. Ikan yang paling banyak dipakai adalah ikan mas, mujair, dan lele. Gurame sangat jarang dijumpai di sana. Natinombur, naniura, dan mangarsik merupakan sajian utama dari ikan-ikanan. Ada pula hidangan ikan salai (ikan asap) yang merupakan kekhasan mereka.
Di sebuah rumah makan Tapsel Madina di kawasan Glugur, Medan, saya menemukan berbagai masakan khas yang justru sangat jarang dijumpai di tempat lain. Hidangan-hidangan itu misalnya adalah pangkat yang dibuat dari umbut rotan muda. Wuih, crunchiness-nya mirip rebung (bambu muda), tetapi rasanya lebih manis. Mungkin setara dengan heart of palm yang di Amerika banyak dipakai sebagai bahan salad. Hidangan andalan lainnya adalah salai ikan limbat dan ikan bado yang sungguh membuat lidah menari. Ah, jangan lupa, bungkus juga rendang belut-nya yang unforgettable untuk dibawa pulang. Bisa tahan seminggu lebih bila disimpan di lemari es.
Ada lagi satu sajian halal khas Tapanuli yang sangat saya sukai, yaitu dali ni horbo atau susu kerbau. Pada mulanya, memang tidak mudah menyukai hidangan ini (acquired taste). Rasanya cenderung tawar. Susu kerbau dikoagulasikan dengan perasan daun papaya sehingga mengental menjadi seperti tahu atau cottage cheese. Ado inang, tabo nai! Rasakan kelembutan teksturnya, dengan bumbu tipis yang membuat kita terlena.
Ah, bicara soal kuliner Tapanuli memang tidak ada habisnya.
Horas ma dihita saluhutna!
Sumber : HarianKompas