Wednesday 6 April 2011

Sebuah Negeri Di Balik Matahari

“Saya sudah ikhlas. Saya sudah ikhlas,” ucap seorang perempuan sambil terisak-isak. Usianya sekitar tigapuluhan. Kerudung hitam itu tak dapat menyembunyikan kesedihannya. “Saya iklhas, Pak. Semua ini demi bangsa dan negara.”
Terus saja kata-kata itu keluar dari mulutnya sambil menyalami tamu dan kerabat yang berdatangan. Kebanyakan tamu yang datang menggunakan seragam hijau dengan sepatu bot tinggi, tak lupa emblem merah-putih menghias di lengan kanannya. Maklumlah, ini memang pemakaman seorang prajurit perang.
Perempuan itu, Lastri namanya. Tiga bulan ini tengah mengandung benih sobatku, Bayu. Aku masih ingat betul bagaimana keceriaan Bayu saat mendapat kabar kehamilan istrinya. Saat itu kami sedang bertugas di Padeka, sebuah pulau di kawasan timur negara ini. Rasanya baru kemarin saja.
“Woi, istriku hamil…istriku hamil, Nang!” kata Bayu sambil melonjak-lonjak di atas kasurnya.
“Wah…hebat sekali kau. Baru tiga bulan hidup seranjang, sudah kau hamili pula anak orang.”
“Berkat ramuan dari simbah, Nang. Kalau kau mau nikah nanti, pasti kuberi.”
“Jangan-jangan sudah nyicil dulu sebelum ke penghulu?” gurauku.
“Ha..ha..ha…ha..” kami berdua tertawa bersama sambil berangkulan erat. Benar-benar sahabatku.
“Ayo bangun! Ayo bangun!” suara komandan kompi sambil memukul-mukulkan tongkat kayu ke pintu barak. Mengagetkan, membuyarkan segala lamunan.
“Cepat sedikit! Matahari sudah mulai tinggi!” ujarnya lagi tak sabar.
Bergegas semua prajurit berpakaian lengkap dengan senjata masing-masing dan berlari menuju barisan di lapangan. Pagi ini kami akan melakukan operasi, sweeping besar-besaran. Akibat kematian sobatku kemarin, komandan memutuskan untuk menyisir pemberontak di kawasan Nangada. Benar-benar operasi besar. Hampir seluruh kekuatan pasukan dan persenjataan dilibatkan. Namanya, “Operasi Bela Bala”
Aku sendiri sebenarnya belum lagi dapat mengusir kantukku. Semalam, tidur tak terasa nyenyak.
“…Semua demi bangsa dan negara..” Ucapan Lastri kemarin terngiang-ngiang terus dalam benakku. Entahlah, sepulang dari pemakaman terus saja kata-kata itu memenuhi benak.
Barisan kata ini memang bukanlah pertama kalinya kudengar. Terlahir dalam keluarga besar tentara membuatku tak asing lagi dengannya. Ayah, dua tahun lalu meninggal, adalah anak dari seorang panglima purnawirawan angkatan ’45 dengan puluhan bintang jasa perang. Setiap kali sebelum berangkat tidur malam, selalu menyempatkan berkisah padaku tentang kepahlawanan kakek pada masa lalu dalam mengusir penjajah. Nah, di ujung ceritanya keluarlah kata-kata itu, “Semuanya demi bangsa dan negara.” Kata-kata yang pula menginspirasiku untuk masuk ke dinas ketentaraan selepas sekolah lanjutan. Bulat sudah tekadku kala itu, demi bangsa dan negara.
“Apakah benar, kami di sini demi bangsa dan negara? Apa benar Bayu mati demi bangsa dan negara?” kembali tanyaku dalam batin. Saat itu barisan tentara sudah mulai bergerak menyusuri padang ilalang menuju hutan yang dicurigai sebagai tempat persembunyian pemberontak.
“Lalu, para pemberontak itu mati demi apa?” batinku bertanya lagi. Tak habis pikir aku dibuatnya. Dulu, jaman kakek mungkin lebih enak, lebih jelas soalnya. Musuh kami adalah bangsa asing yang memang berniat menjajah dan membodohi negeri ini.
“Nah, kalau yang sekarang kami hadapi bukankah orang sendiri?” suara hatiku lagi.
“Ayo cepat jalan, jangan ngelamun,” sebuah hentakan kecil di pundak membuyarkan lamunanku. Buru-buru kugegaskan langkahku mengikuti barisan.
“Tiarap! Tiarap!” teriak komandan tiba-tiba.
“Musuh ada di sektor timur, di rerimbunan pohon!” katanya lagi.
Mulailah baku tembak terjadi. Semua saling berlarian menyusun posisi. Menyembunyikan diri ala kadarnya di balik semak-semak untuk kemudian berusaha melepaskan tembakan ke arah pemberontak. Semakin seru ditingkah desingan peluru yang tak lagi jelas siapa sebenarnya yang disasar.
“Merdeka! Merdeka!,” teriak lantang dari arah pemberontak. Tak sempat kukenali wajahnya. Selain memang masker yang membungkus mukanya, rerimbunan pohon pun menghalangi.
“Usir penjajah, jangan biarkan kita ditindas,” sambung kelompok yang lain.
“Hah, apa lagi ini?” aku semakin bingung.
“Merdeka? Penjajah? Ditindas? Apa pula ini?” berbagai pertanyaan ini mulai merasuki otakku.
Bagaimana tidak? Bukankah aku disini justru untuk mengamankan negara ini, menjaga kemerdekaannya. Aku disini tak pernah minta imbal apapun. Kedudukan, pangkat, bahkan harta tak ada sangkut pautnya denganku. Hanya demi negeriku-lah aku di sini berada.
Lantas, “Siapa yang menindas, tertindas dan untuk apa?” batinku lagi.
Gara-gara kebingungan ini, tak sempat kumuntahkan satu pelor pun dari senjataku. Jari telunjukku tak siaga di pelatuknya. Hanya kugenggam saja. Bahkan, karenanya pula tak sempat ku cari perlindungan. Malahan berdiri dan kudongakkan kepalaku hanya sekedar mencari si empunya suara tadi. Ingin kutemui segera demi memuaskan semua tanya yang kini berkecamuk dalam diri.
Belum lagi segala pertanyaan itu terjawab, tiba-tiba kurasakan nyeri di dada kiriku. Aku terdiam mematung. Perlahan kuberanikan tangan kananku meraba asal sakit itu.
“Basah, seragamku basah oleh darah…,” batinku berkata.
Nyeri itu bergerak cepat menguasai bagian dalam tubuhku, merangsek kesadaranku. Semua terasa buram tiba-tiba, seperti siluet saja. Aku terjatuh telentang di tanah yang masih basah oleh embun pagi. Diam saja sambil merasakan nyeri. Minta tolong toh percuma. Kawan lain pun pasti sedang kebingungan menghadapi lawan yang bak siluman, tak ada habisnya. Begitu yang satu hilang, ada lagi yang muncul dari balik rerimbunan pohon. Entahlah, jangan-jangan mereka memang anak dari pohon-pohon ini. Keturunan sah tanah ini.
Tiba-tiba sesuatu menyilaukan mataku. Matahari sudah mulai tinggi rupanya. Sayang, kicauan burung tak ikut datang bersamanya. Walau demikian, tak mengurangi pesonanya. Damai sekali rasanya. Membuatku memejamkan mata perlahan. Dengan terpejam kucoba nikmati hangatnya sinar dan ilusi kicau burung. Tenang dan tak lagi digelayuti berbagai pikiran yang tadi.
Sekarang, hanya satu ada dalam benakku. Impian sebuah negeri di balik matahari sana. Sebuah negeri yang damai. Tanpa bendera untuk dibela dan tanpa senjata pemusnah sesama. Di sana, pastilah tidak ada tentara. Sehingga tak perlu lagi rentetan kisah “Demi bangsa dan negara” terus bergulir ke generasi lainnya. Mungkinkah?
Sementara di medan pertempuran, entah sudah berapa peluru muntah. Suara erangan lawan atau kawan tak lagi dipedulikan. Setiap orang sedang bergulat cari selamat badan sendiri. Kalut sudah, pokoknya tembakkan saja ke depan. Kena syukur-nggak kena ya tembak lagi saja terus. Hanya ada satu pegangan, bunuh atau terbunuh. Hancur sudah segala strategi yang disusun semalaman.
“Ah sudahlah. Setidaknya saat ini negeri itu ada dalamku, walau hanya untuk berapa detik lagi,” hiburku pada diri sendiri.
Matahari mulai berpindah ke ufuk barat, medan pertempuran sunyi senyap. Hanya tampak beberapa penduduk setempat dengan kaki setengah berjingkat mengais rejeki dari tubuh yang tak lagi bernyawa. Menggerayangi saku bahkan menelanjanginya, berusaha ‘menyelamatkan’ barang yang tersisa untuk melanjutkan hidupnya. Toh memang barang-barang itu tak lagi berguna bagi mereka yang telah mati, pikir mereka.
Di sisa medan pertempuran itu pula, seorang pemuda setempat bertelanjang dada dibuat heran oleh mayat prajurit doreng dengan senyum tenang menghias di wajahnya. Nanang Prakosa, hanya itu saja yang tertulis di dada tubuh kaku itu.
“Ah masa bodohlah.” katanya dalam hati. Tak lama heran itu hinggap, segera dilucutinya pula ‘sisa’ yang melekat di tubuh prajurit tadi.
Keceriaan berpindah ke pemuda yang kini tak bertelanjang dada lagi. Seragam berlubang di dada lengkap dengan noda darah kini menutupi tubuh kurusnya.
“Setidaknya, rejeki hari ini bisa menghidupi keluargaku selama seminggu. Coba saja kalau terus ada pertempuran besar tiap hari, bisa kaya aku,” gumamnya dengan senyum tersungging sambil terus melangkah pulang ke arah matahari terbenam.
Sumber : (Rinaldi Dorasman Gultom) Cyber Satra

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan pesan serta kritik yang membangun blog ini. bergabung bersama kami.